Selalu ada sudut-sudut bumi yang teramat sensual bagi orang-orang
sepertiku dan beberapa teman yang katanya “anak alam” dan menyebut diri
pencinta alam. Selalu ada kebanggaan, mengalahkan
lelah dan ego diri. Itu bisa berupa puncak-puncak gunung yang menuding
langit atau liang gua yang kelam, seperti ada makhluk menunggu kita di
sana. Atau tebing tegak lurus menawan seakan minta dijamah, jeram deras
yang tak pernah bisa berkompromi. Makin bergejolak ia, makin
bergairahlah kita menyusurinya. Atau angkasa yang tak bertepi? Samudera
yang dalam? Ah, banyak sekali sudut-sudut dan bentang alam yang indah
menawan, betapa beruntungnya manusia. Selalu begitu, di setiap
perjalanan, di setiap kelelahan, jeda menuju klimaks, di situlah letak
rasa itu. Rasa yang… ah, sulit disimpulkan, tak ada kata yang dapat
mewakili perasaan itu. Hanya ada gairah aneh saat energi itu kemudian
akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan. Begitu seterusnya,
berulang-ulang. Foto-foto eksotis, cerita-cerita tentang heroisme, bahwa
kita adalah sekumpulan manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa
yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda. Pada saatnya nanti
alam kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu. Dan kita datang
lagi, mencumbuinya lagi, terpuaskan lagi, pulang lagi. Seperti candu
yang tak pernah selesai. Seegois itukah aku? Sesederhana itukah hidup?
Kalau hanya sesederhana itu, maka sebutan yang paling tepat adalah
penikmat alam! Bukan “pencinta alam”. (Butet Manurung – Taken from Sokola Rimba, Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba)
http://inart.wordpress.com/2010/09/21/bukan-pencinta-alam/
Sekelompok orang tampak begitu sumringah, meski denyut jantungnya belum kembali beraturan. Satu puncak lagi berhasil ditaklukkan, dengan keringat mungkin juga dengan air mata.
Foto-foto eksotik pun sudah digenggaman, siap untuk dipamerkan. Dengan lantang mereka bercerita, betapa tangguhnya mereka menaklukkan setiap jejak medan. Nafas yang memburu, otot yang melemah, kaki yang terus menanjak hanya cerita selingan diantara cerita-cerita indah mengenai pemandangan yang menakjubkan di atas sana. Mereka yang tak pernah mengalaminya pun terperangah mendengar cerita itu.
Prilaku itu pun turun menurun, seolah menjadi tradisi. Anggota lama bercerita kepada anggota baru. Anggota baru bercerita kepada mereka yang belum menjadi anggota. Bahwa pemandangan itu indah, bahwa pemandangan itu begitu eksotik. Kita pun kembali datang menyapanya, turun kemudian kembali lagi menyapanya. Begitu seterusnya, hasrat itu terasa tak ingin berhenti. Orang-orang yang penasaran akan cerita-cerita itu pun turut serta, seolah ingin membuktikan mereka berani, mereka beda, mereka unik, mereka perkasa.
Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih dari hegemoni aktifitas rekreasi yang hanya berasa keindahan saja? Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila sang bayu tak pernah dimengerti, sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini?
Kita mengaku pencinta alam, namun begitu tega menjilat tanah dengan api, meracuni air dengan sampah, menebas pohon untuk mendirikan tenda. Apakah ini adalah bentuk cinta? Mengapa tak kau sebut saja dirimu seorang penikmat?
http://inart.wordpress.com/2010/09/21/bukan-pencinta-alam/
Sekelompok orang tampak begitu sumringah, meski denyut jantungnya belum kembali beraturan. Satu puncak lagi berhasil ditaklukkan, dengan keringat mungkin juga dengan air mata.
Foto-foto eksotik pun sudah digenggaman, siap untuk dipamerkan. Dengan lantang mereka bercerita, betapa tangguhnya mereka menaklukkan setiap jejak medan. Nafas yang memburu, otot yang melemah, kaki yang terus menanjak hanya cerita selingan diantara cerita-cerita indah mengenai pemandangan yang menakjubkan di atas sana. Mereka yang tak pernah mengalaminya pun terperangah mendengar cerita itu.
Prilaku itu pun turun menurun, seolah menjadi tradisi. Anggota lama bercerita kepada anggota baru. Anggota baru bercerita kepada mereka yang belum menjadi anggota. Bahwa pemandangan itu indah, bahwa pemandangan itu begitu eksotik. Kita pun kembali datang menyapanya, turun kemudian kembali lagi menyapanya. Begitu seterusnya, hasrat itu terasa tak ingin berhenti. Orang-orang yang penasaran akan cerita-cerita itu pun turut serta, seolah ingin membuktikan mereka berani, mereka beda, mereka unik, mereka perkasa.
Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih dari hegemoni aktifitas rekreasi yang hanya berasa keindahan saja? Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila sang bayu tak pernah dimengerti, sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini?
Kita mengaku pencinta alam, namun begitu tega menjilat tanah dengan api, meracuni air dengan sampah, menebas pohon untuk mendirikan tenda. Apakah ini adalah bentuk cinta? Mengapa tak kau sebut saja dirimu seorang penikmat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar